Penawar Pahitnya Kehidupan, Resep Imam Qusyairi dan Imam Ghazali

Dadang seorang karyawan perusahaan swasta. Semenjak dunia dilanda pandemi Covid-19, ia di-PHK dari perusahaannya karena ekonomi dunia yang sedang merosot tajam. Perusahaannya bangkrut karena keterbatasan mobilitas.

Namun bukanlah Dadang kalau hanya karena di-PHK ia mengeluh dan putus asa untuk mencari sumber kehidupan selanjutnya. Bukan hanya bersabar dan bertawakal untuk mencari solusi, Dadang malah banyak bersyukur atas kejadian yang ia alami. Di saat banyak orang mengeluh, ia malah banyak-banyak bersyukur atas kejadian yang menimpanya, kenapa demikian?

Karena Dadang tahu komposisi penawar pahitnya kehidupan. Bahwa selain sabar dan tawakal serta mencari solusi terhadap ketentuan yang Allah berikan mengenai hidupnya, ada satu poin yang tidak boleh ia ditinggalkan, apa itu? Bersyukur.

Biasanya ketika seseorang tertimpa musibah, apa yang mereka perbuat? Sebagian mengeluh meratapi nasib yang menimpanya sampai-sampai putus asa terhadap kehidupan yang ia alami –Na’udzubillah-. Sebagian lainnya bersabar terhadap ketentuan yang Allah Swt berikan kepadanya serta berharap adanya hikmah dari musibah yang menimpa.

Baca juga: Abah Anom: Sabar dan Syukur Harus Bergandengan

Jika hal tersebut menimpa kita, ada di manakah posisi kita? Semoga Allah Swt tumbuhkan bibit-bibit kesabaran dalam hati kita yang berbuah husnudzan terhadap ketentuan-Nya.

Bersabar dan bertawakal kepada Allah Swt atas ketentuan nasib yang Allah berikan adalah sifat mukmin yang terpuji dan sangat dianjurkan. Akan tetapi jangan salah memaknai hakikat dari tawakal yang sebenarnya. Sebagian orang ketika tertimpa kesusahan, kesulitan, kebuntuan dalam kehidupannya, ia menyerah terhadap keadaan tanpa ada ikhtiar atau upaya, sambil berkata, “saya mah tawakal aja.”