Pada zaman dahulu, di wilayah Syam, Syiria, hiduplah seorang hamba Allah yang bertaqwa bernama Ibrahim AS. Beliau adalah salah seorang nabi dan rasul Allah. Terlepas dari itu, Sayyidina Ibrahim adalah seorang yang dengan total dan tulus berpasrah diri dan mengabdi kepada Allah. Beliau pun menjadi sangat dekat dengan Allah sehingga Allah menjulukinya dengan khalilullah (teman karib Allah) (QS An-Nisa: 125).
Meski seorang nabi dan rasul, disisi lain Sayyidina Ibrahim tetaplah seorang manusia yang berkebutuhan. Di usia senjanya, beliau belum dikaruniai seorang anak. Di samping demi memenuhi naluri insaniahnya, beliau mendambakan seorang putra untuk meneruskan risalah yang diembannya. Maka beliau pun memohon kepada Tuhannya. (QS As-Shaffat: 100).
Tak lama kemudian, melalui istri keduanya Hajar, beliau dikaruniai Allah seorang putra bernama Isma’il. Belum lama menikmati kebahagiaan bersama putra dambaannya, beliau mendapat perintah dari Allah untuk membawa bayi itu dan ibunya ke suatu tempat yang sangat jauh bernama lembah Bakkah/Mekkah. Lembah itu sangat tandus dan sepi. Beliau membawa mereka ke sana dan meninggalkan keduanya. Ibrahim kembali ke Syam.
Bertahun-tahun kemudian beliau kembali mendapat perintah dari Allah untuk menjenguk putra dan istrinya Hajar di Bakkah. Setelah melewati perjalanan panjang, sampailah beliau. Isma’il telah tumbuh dewasa. Keluarga itu pun menikmati kebersamaannya lagi. Atas perintah Allah, beliau bersama putranya Isma’il merenovasi Ka’bah.
Ujian kembali datang. Melalui sebuah mimpi suci, beliau diperintahkan Allah untuk menyembelih sang putra tercinta. Dengan penuh ketundukan dan kepasrahan kepada Allah, beliau pun melasanakan perintah Allah itu. Isma’il berkata pada ayahnya,
“Ayah, laksanakanlah apa yang telah Allah perintakan. Insya Allah, aku akan menjadi orang yang sabar.”
Keduanya berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Nabi Ibrahim pun membaringkan anak tercintanya itu. Saat pedang hendak diayunkan, seketika terdengarlah suara langit, “Wahai Ibrahim! Engkau telah membenarkan perintahku dan melaksanakannya. Ini hanyalah unjian dari-Ku sebagai anugerah bagi hamba-hamba-Ku yang baik.”
Isma’il pun tak jadi disembelih. Allah SWT mengirimkan seekor kambing untuk disembelih. Kisah ini oleh Allah diabadikan dalam al-Quran, Surat As-Shaffat: 100-111.
Hikmah
Setiap kisah yang tertulis dalam al-Quran selalu menyimpan pesan, petunjuk dan tuntunan. Allah SWT berfirman, “Sungguh, pada kisah mereka (para Nabi) mengandung pelajaran bagi para ulil albab.” (QS Yusuf: 111)
Begitu halnya dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ini kepada Allah. Terlebih, kisah ini juga diabadikan dalam bentuk ritual tahunan, yaitu Idul Adha, haji dan qurban. Dari sini, jelas ada suatu perintah agung dari Allah SWT untuk kita semua umat beriman laksanakan. Perintah itu adalah tentang ketundukan dan kepasrahan total kepada Allah SWT.
Kisah Sayyidina Ibrahim dan Sayyidina Isma’il ini memberi kita sebuah ilustrasi cinta segitiga antara Ibrahim, Allah dan putranya Isma’il, yakni cinta Ibrahim kepada Allah dan cinta Ibrahim kepada putranya Isma’il.
Sayyidina Ibrahim adalah diantara sedikit manusia yang sejak dini memiliki kesadaran ilahiah/ketuhanan. Dalam surat Al-An’am 74-81, dikisahkan tentang pergumulan beliau “mencari” Tuhan di usia dini. Beliau sadar akan hakikat diri dan alam semesta sebagai ciptaan. Segala sesuatu di jagat raya, yang nampak maupun kasat mata, termasuk dirinya, ada yang menciptakan. Sang Pencipta-lah yang mengawali segala sesuatu. Dia yang mengatur perjalanan. Dia pula yang mengakhiri semuanya.
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______