Thariqah Shufiyyah atau Thariqah para sufi tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban Islam. Hampir semua sejarah peradaban Islam tidak ada yang tidak dipengaruhi oleh gerakan sufistik, termasuk sejarah penyebaran dan perkembangan Islam di seluruh dunia.
Salah satunya, masuknya Islam ke bumi Nusantara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gerakan para sufi “Wali Songo” yang membawa masuk Islam dengan strategi dakwah yang asimilatif, terbuka, damai dan mengedepankan kearifan lokal budaya setempat.
Di Barat, para orientalis menuding gerakan thariqah shufiyyah merupakan penyebab kemunduran Islam, baik secara politik, ekonomi, bahkan kemajuan intelektual. Sebab, gerakan sufistik dinilai hanya terlalu asyik dan memfokuskan pada kehidupan akhirat sebagai orientasi utama serta melarikan diri dari kehidupan dunia. Sehingga mereka dikesankan orang-orang yang apatis dan tidak mau tahu lagi dengan persoalan kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Tuduhan serta tudingan itu tidak benar, bahkan sepenuhnya tidak benar. Sebab, pada fakta sejarahnya justru banyak upaya perlawanan dan perjuangan membebaskan diri dari kolonialisme dan imperialisme di berbagai belahan dunia ini digerakkan oleh kelompok-kelompok gerakan sufisme.
Meskipun gerakan shufiyyah pada prinsipnya merupakan aktivitas ubudiah yang menjauhkan diri dari keduniawian, menekankan sikap qana’ah dan zuhud, membersihkan hati dari nafsu syahwati serta melatih diri dengan amaliah-amaliah serta ibadah-ibadah yang berat secara ikhlas dan disiplin. Namun gerakan sufistik ini ternyata juga sangat banyak berperan dan berkontribusi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, bahkan gerakan revolusi dan perjuangan kemerdekaan di setiap negara. Baca juga…
Sosok ketokohan sufi periode awal di masa Tabi’in, semisal al-Imam Hasan al-Bashri barangkali dapat dijadikan sebagai bentuk upaya perlawanan dan sikap oposisi terhadap kekuasaan Muawiyah bin Yazid dan Yazid bin Abdul Malik yang dinilai telah banyak menyimpang dari ajaran murni Rasulullah Saw.
Sebaliknya, keberhasilan kekuasaan Harun al-Rasyid yang dicintai oleh rakyatnya juga turut dipengaruhi oleh kedekatan dan penghormatannya terhadap tokoh para sufi, semisal Imam Fudhail bin Iyadh dan Syekh Ibn Sammak.
Di banyak negara Islam ada banyak gerakan shufiyyah yang menggerakkan perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Di rentang abad ke-18 hingga 19, perlawanan atas penjajahan justru diawali dari gerakan Thariqah Shufiyyah.
Semisal, Thariqah Sanusiyyah yang dipimpin oleh seorang pemimpin sufi bernama Umar Mukhtar yang memimpin perlawanan atas penjajahan Italia di Libya.
Di Mesir, perlawanan terhadap penjajahan Prancis digerakkan oleh Imam Ahmad al-Badawi Thantha; seorang wali besar dan pemimpin gerakan Thariqah Badawiyyah.
Di negeri kita sendiri, salah satunya di Kalimantan Selatan, perjuangan rakyat Banjar dipelopori oleh gerakan Thariqah Samaniyyah.
Thariqah Samaniyyah berasal dari pendirinya seorang ulama sufi terkemuka di Madinah al-Munawwarah bernama lengkap As-Sayyid Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani [1718-1775 M] atau yang lebih populer dengan sebutan Syekh Samman al-Madani.
Syekh Samman dikenal sebagai seorang ulama besar yang menguasai ilmu syariat, hakikat, thariqah hingga ma’rifah. Beliau mengajar serta menjadi juru kunci makam Rasulullah Saw di masanya. Di antara gurunya adalah Muhammad Sulayman al-Kurdi dan Musthafa al-Bakri pengikut Thariqah Khalwatiyyah.
Dari sekian thariqah yang diikuti dan diamalkan oleh Syekh Samman al-Madani, di antaranya Thariqah Khalwatiyyah, Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, dan Syadziliyyah. Akhirnya Syekh Samman diizinkan mendirikan Thariqah sendiri dengan nama Thariqah Samaniyyah.
Thariqah Samaniyyah dengan begitu cepat tersebar dan berkembang di banyak negeri di seluruh penjuru dunia, terbanyak di Afrika dan Asia Tenggara, terutama di Indonesia di Kalimantan Selatan di Sulawesi Selatan dan sebagian Nusa Tenggara Barat.
Perkembangan Thariqah Samaniyyah di Kalimantan Selatan tidak terlepas dari jasa dan pengaruh ajaran Islam yang dibawa masuk oleh Maulana Syekh Muhammad Arsyad al-Banjary pada abad ke-19 yang tidak lain merupakan murid utama dan Khalifah pewaris ajaran gurunya Syekh Samman al-Madani yang ikut turut meneruskan ajaran thariqah gurunya.
Pada perkembangan selanjutnya, di masa abad ke-19 hingga abad 20 manakala terjadi imperialisme dan penjajahan Belanda, para pengikut dan pengamalnya menjadikan Thariqah Samaniyyah sebagai amaliah yang mampu membangkitkan semangat perjuangan dan perlawanan terhadap penjajahan.
Di dalam amaliah Thariqah Samaniyyah yang pada dasarnya merupakan amaliah zikir dikenal dengan istilah “Ratib” atau yang sering disebut oleh orang Banjar dengan istilah “Baratib”.
Istilah “Baratib” merupakan amaliah berzikir bersama dengan suara nyaring dan khusyuk dengan gerakan tertentu, seperti bersila, menutup mata serta menggelengkan kepala, ditambah dengan alunan suara seorang “Munsyid” yang membacakan syair-syair munajat, sehingga mengesankan adanya pengaruh kekuatan rohiyyah bagi orang yang ikut melakukannya. Baca juga…
Amaliah Baratib ini selanjutnya akan mampu menghadirkan rasa kedekatan dengan sang Maha Pencipta, ketenangan jiwa, ketentraman batin, kelapangan hati, bahkan keberanian untuk menghadapi segalanya, dan pula tidak ada rasa ketakutan untuk mati berjuang di jalan Allah.
Dengan kekuatan dari amaliah Baratib Thariqah Samaniyyah ini, pada akhirnya akan memunculkan rasa Nasionalisme, cinta tanah air, tidak senang terhadap kezhaliman, kemunafikan dan segala bentuk penjajahan. Sehingga tidak sedikit melahirkan para pejuang dan pahlawan yang ikhlas berjuang jihad fi sabilillah atas nama cinta tanah air.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semangat perjuangan dan perlawanan sejatinya banyak diinisiasi, dipelopori, digerakkan oleh para ahli sufi dan tasawuf. Tasawuf telah menjadi roh perjuangan dalam Islam. Wallahu ‘alam.
Ditulis oleh TGH. DR. Miftah el-Banjary
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______