“Kita memasuki realitas baru yang dinamakan realitas virtual. Di mana orang sudah tidak lagi membedakan mana realitas nyata dengan realitas virtual. Bahkan, secara tidak sadar, orang lebih mementingkan realitas virtual daripada realitas nyata,” ujar Habib Husein dalam Muktamar Pemikiran dan Halaqah Kiai/Nyai Muda yang digelar selama tiga hari di Pondok Pesantren Al Falak, Pagentongan, Bogor.
Habib Husein Ja’far Al Hadar menuturkan bahwa ada riset yang menyatakan sebanyak 60 persen orang Indonesia menjadikan medsos untuk mencari rujukan ilmu agama. Realitas baru yang muncul saat ini adalah ideologi warganet (netizen) yang masih abu-abu. Tidak memiliki konsistensi soal sosok influencer yang dijadikan panutan.
“Fenomena inilah yang kemudian menyebabkan banyak pemuda mencari jati diri,” imbuhnya.
Baca juga: Dua Kunci Menuju Umat Pertengahan
Habib Husein melihat, pesantren dengan jumlah lebih dari 30 ribu mempunyai potensi digital dalam menampilkan konten-konten keagamaan. Akan tetapi menurutnya, kalangan pesantren ini kurang militan dalam membuat konten.
Kalangan pesantren juga, katanya, harus memahami basic algoritma, yang saat ini popularitas lebih penting daripada otoritas.
Sebab, menurut penulis Tuhan Ada di Hatimu ini, pola pikir pemilik perusahaan media adalah pragmatis. Untuk itulah mengapa perusahaan medsos tidak memikirkan isi konten, dan lebih mementingkan konten viral.
Pembicara lainnya, Ny. Hj. Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm menilai hal terpenting dalam moderasi beragama ialah justru menemukan inti ajaran Islam yang mesti dijadikan poros dan acuan untuk menilai apakah cara beragama tertentu itu ekstrim atau moderat.
Karena yang beragama adalah manusia, maka titik pijak moderasi beragama adalah cara pandang Islam atas kemanusiaan.
Moderasi beragama adalah beragama dengan memegang teguh jati diri manusia sebagai hanya hamba Allah sekaligus Khalifah fil Ardl.
Ia ditandai dengan sikap tidak menghamba pada apa pun dan siapa pun selain Allah. Yang dibuktikan dengan ikhtiar terus menerus mewujudkan kemaslahatan bersama, termasuk kemaslahatan pihak lemah atau rentan, dan termasuk kemaslahatan perempuan.
Baca juga: MUI Soroti Pentingnya Pengarusutamaan Washatiyah Islam
Dengan kata lain, menurut Dosen Pascasarjana PTIQ ini, moderasi beragama adalah ikhtiar terus menerus memegang teguh komitmen Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan membuktikannya antara lain dengan tindakan yang mencerminkan kemanusiaan yang adil dan beradab, termasuk adil dan beradab pada perempuan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk adil pada perempuan.
Dalam pandangannya, misi agama Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, termasuk bagi perempuan.
Sistem kehidupan meliputi kehidupan individu, perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. Juga meliputi sistem kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dll termasuk kehidupan beragama.
Sistem kehidupan, lanjut pengasuh Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI), hanya menjadi anugerah bagi semesta jika manusia yang diberi amanah sebagai Khalifah fil Ardl berakhlak mulia. Karenanya, misi agama Islam juga adalah menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk akhlak pada perempuan.
Baca juga: Akhlak Paling Utama bagi Penghuni Dunia dan Akhirat
Sebaliknya, beragama secara ekstrim adalah beragama dengan cara-cara yang melahirkan kezaliman pada siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, dan oleh siapa pun. Baik secara individual, kolektif, maupun sistemik, baik pada laki-laki dan perempuan secara bersama-sama, maupun hanya pada perempuan, baik di ruang publik maupun domestik, atas nama apapun termasuk atas nama agama atau bahkan atas nama Tuhan, baik dilakukan oleh non Muslim maupun oleh Muslim.
“Moderasi beragama bukanlah soal berada di titik mana, melainkan beragama yang memanusiakan penuh manusia, termasuk perempuan, atas dasar iman, baik di titik ekstrim kanan, ekstrim kiri, maupun di titik tengah dalam pandangan manusia,” ujarnya.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Puslitbang Binmas Agama Kemenag RI yang bekerjasama dengan Humaniush Institute, Pusat Studi Pesantren, Islamina, dan iqra.id. Halaqah ini mengusung tema “Menguatkan Moderasi Beragama Sebagai Gerakan Civil Society”.
Gus Muwafiq, Dr. Abdul Mogsith Ghazali, H. Abdul Ghaffar Rozin, dan H. Lukman Hakim Saifuddin adalah di antara sederet nama yang hadir menjadi pembicara dalam acara tersebut.
Halaqah ini diikuti oleh kurang lebih 70 peserta yang terdiri para Kiai dan Nyai muda dari berbagai pondok pesantren di Pulau Jawa dan Madura.
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______