In Memoriam, KH. Abdul Rosyid Effendi, BA.

DKI Jakarta sebelumnya telah memiliki wakil talqin, yakni KH. Abdul Syukur dari Condet. Hubungan Kyai Effendi dengan KH. Abdul Syukur sangat dekat. Setiap kali pengajian manaqib di rumah Kyai Effendi, KH. Abdul Syukur selalu datang dan memberikan talqin dzikir kepada jamaah baru. Namun beliau wafat pada tahun 1992.

Langkah-langkah pembinaan yang Kyai Effendi lakukan adalah mengembangkan tempat-tempat manaqib di DKI Jakarta dan sekitarnya, dan mengirimkan ustadz-ustadz untuk memimpin dzikir khatam dan manaqib. Diantara para ustadz yang dibina oleh beliau adalah, Ust. Ma’ruf Ainur Rofiq, Ust. Yusuf, Ust. Rosyidi, Ust. Sirajudin dan H. Udin Syarifudin dan lain-lain.

Beliau juga membangkitkan program inabah dari rumah ke rumah. Korban-korban penyalahgunaan narkoba dan zat addictif lainnya tidak ditampung dalam satu lokasi, melainkan mereka tetap tinggal di rumah masing-masing. Pihak Kyai Effendi lah yang bergerak aktif mengirimkan ustadz-ustadz untuk memberikan terapi spiritual kepada para korban tersebut.

Kyai Effendi dikenal dermawan oleh para koleganya. Terutama para wakil talqin. Setiap kali para wakil talqin mengadakan pertemuan di Ponpes Suryalaya, selalu saja ada bingkisan yang diberikan kepada mereka, walaupun tidak besar nilainya. Seperti, ballpoint, kaos dan lainnya.

Di mata para ikhwan TQN Jakarta, Kyai Effendi adalah figur pemimpin yang berhasil. Semenjak beliau menjadi wakil talqin jumlah tempat manaqib tersebar di seluruh pelosok DKI Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi.

Di mata keluarga, Kyai Effendi adalah figur yang sangat pendiam dan murah hati. Tidak banyak kata keluar dari lisan beliau. Seringkali beliau memberikan contoh perbuatan daripada kata-kata. Pendidikan agama terhadap anak-anaknya sangat keras dan ketat. Jiwa pemurahnya tercermin dari sikap menerima siapa saja yang datang kepadanya dan menampung mereka yang sedang mendapatkan kesusahan hidup untuk tinggal beberapa hari di rumahnya. Hingga mereka merasa tenang kembali dan siap menghadapi kenyataan yang telah Allah SWT berikan.

Umi Hj. Ida Saodah mengenang, “Kebahagiaan yang sangat besar yang saya rasakan semasa beliau menjadi khadam Abah Anom adalah saat setiap kali saya diajak mengunjungi Pangersa Abah Anom. Saya bisa dekat sekali dengan Pangersa Abah Anom. Setiap kali mendapatkan riyadhah dari Abah, tentunya ada saja cobaan atau ujian yang datang menghampiri. Tatkala saya melaporkannya kepada Abah kondisi ujian tersebut, yang paling saya ingat adalah kata-kata beliau: ‘Jangan menghitung-hitung musibah, tetapi nikmat dari Allah yang lebih banyak.’ (Pangersa Abah berkata dalam bahasa Sunda: ‘Ulah ngitungan musibah, nikmat-Na Nu loba ka urang’)”.

Saat-saat Menjelang Wafat

Beberapa hari menjelang wafatnya, Kyai Effendi sempat membawa rombongan dari Bank Indonesia ke Ponpes Suryalaya. Saat bersilaturahim kepada Pangersa Abah Anom, biasanya jama’ah yang bersilaturahim kepada Abah Anom, sambil bersalaman langsung meletakkan amplop kepada Abah di atas sorban yang menutupi sebagian tubuhnya, sebagai wujud rasa terimakasih murid kepada mursyidnya. Begitu juga Umi Ida dan Kiayi Effendi.

Ketika Umi Ida bersalaman dan memberikan amplop, Abah berprilaku biasa saja. Selanjutnya ketika Kyai Effendi bersalaman, amplop yang diberikan dipegang erat oleh Abah Anom dengan jari telunjuk dan ibu jari. Assitennya berusaha melepaskan pegangan erat ini hingga berulang kali, namun tak mampu juga terlepas. Akhirnya Umi Yoyoh (Istri Abah Anom) berujar, “Abah, amplopnya masukkan saja ke saku” baru pegangannya dilepaskan. Entah, ini isyarat apa.


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______
Rekomendasi