Mengapa Nabi Muhammad SAW dimunculkan dari tengah-tengah bangsa Quraisy yang campuran dan sangat pluralistik? Karena beliau dipersiapkan untuk menjadi pemimpin bagi semua manusia.
Kepada manusia-manusia yang sangat lekat ikatan kesukuan dan kebangsaan mereka Nabi Muhammad SAW diutus untuk memperkenalkan ide-ide yang lebih luhur daripada ide kesukuan dan kebangsaan.
Dengan terlahir di tengah bangsa campuran seakan Allah SWT hendak mengikis identitas etnis beliau, sehingga tak satu etnis pun kelak dapat mengklaim beliau hanya sebagai bagian dari etnisnya saja.
Sejarah kelak membuktikan, Islam adalah agama yang misi pertamanya secara vertikal adalah mengikis kemusyrikan, menghancurkan tuhan-tuhan palsu yang berjumlah banyak, dan secara horisontal adalah mengikis ‘ashabiyah.
‘Ashabiyah adalah ikatan fanatisme kekelompokan. Sebuah hadits mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam ‘ashabiyah:
“Bukan golongan kami orang yang mempropagandakan ‘ashabiyah, bukan golongan kami orang yang berjuang demi `ashabiyah, bukan golangan kami orang yang mati karena ‘ashabiyah.”
‘Ashabiyah menyebabkan kita tidak peduli dengan golongan lain, menjadikan kita tidak adil dan cenderung berbuat curang dalam hidup bermasyarakat. Padahal keadilan sangat dekat dengan ketaqwaan.
Dalam hal ketuhanan Islam memperkenalkan konsep tawhid (keesaan Tuhan), dalam hal kemanusiaan Islam memperkenalkan konsep ummatan wâhidatan (kesatuan umat).
Maka janganlah perbedaan ciri yang ada pada manusia dipertajam sehingga umat manusia ini terpecah belah dan saling bermusuhan.
Perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya dijadikan alat untuk membuat kehidupan menjadi lebih menarik dengan kemeriahan warna dan bentuk-bentuk yang kontras.
“Manusia itu adalah umat yang satu. Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, serta menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk menghakimi manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah memperselisihkan Kitab itu kecuali orang-orang yang, setelah didatangkan Kitab dan keterangan-keterangan yang nyata, lalu ada baghyan di antara mereka.
Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman tentang kebenaran dari hal yang mereka perselisihkan itu sesuai kehendak-Nya.
Allah selalu memberi petunjuk pada orang yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus.” (al-Baqarah: 213).
Di banyak terjemahan bahasa Indonesia baghyan diterjemahkan dengan kedengkian. Dalam tafsirnya yang berbahasa Inggris Yusuf Ali menerjemahkannya selfish contumacy (pembangkangan karena egoistis). Sedangkan Muhammad Marmaduke Pickthal menerjemahkannya hatred one of another (kebencian terhadap pihak lain).
Dalam bahasa Arab bahgyan mengandung makna ‘keserakahan, kecurangan, kelicikan, kemurkaan, kekejian, kekotoran, penindasan, permusuhan, kesundalan, tirani’.
Nampaknya segala hal yang menjijikkan dan merusak terkandung di dalam kata baghyan. Mudah-mudahan kata ‘dengki’ dalam bahasa Indonesia cukup mewakili itu semua. Pada ayat di atas baghyan dikatakan sebagai hal yang merusak kesatuan kemanusiaan.
Kesatuan umat (ummatan wâhidatan) yang di dalamnya ada kesetaraan dan keadilan dirusak oleh ‘ashabiyah (fanatisme kekelompokkan) dan baghyan (kedengkian).
Keduanya ada pada diri kita. Keduanya sedang sangat berkembang di tengah bangsa ini, meruyak di pentas-pentas TV maupun pentas-pentas politik. Keduanya menjadi penyebab kehancuran martabat dan harga diri kita. Karena itu keduanya harus disembelih dari diri kita.
Ditulis oleh KH. Wahfiudin Sakam. Mudir Aam JATMAN, Wakil Ketua Komisi Pendidikan & Kaderisasi MUI Pusat, Wakil Talqin TQN Pontren Suryalaya.
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______