Hukum Membaca, Mendengarkan dan Memperingati Manaqib

Manaqib adalah bentuk jamak dari kata manqabah yang berarti perbuatan mulia. Manaqib bisa diartikan sebagai riwayat hidup seorang tokoh, baik itu menyangkut kelahiran, silsilah keturunan, kebaikan, prestasi, langkah perjuangan, perbuatan luar biasa, guru-gurunya, sifat-sifatnya serta akhlak kepribadiannya.

Apa yang dikenali dari budi pekerti yang terpuji dan akhlak yang baik.

Dari pengertian itu, aktivitas membaca, mengkaji, membahas dan memperingati shahibul manaqib (yang mempunyai riwayat hidup) dalam istilah umum biasa disebut manaqiban.

Baca juga: Ini Landasan Ilmiah Manaqib

Mengikuti manaqiban, baik dengan membaca, menyimak dan mendengarkan serta mempelajari riwayat kehidupan para tokoh, semisal sahabat Nabi Saw, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in, Mujtahidin, para ulama dan waliyullah sangat besar faidahnya.

Ketika tujuan dari manaqiban itu ialah untuk mengambil pelajaran, memetik hikmah dan mengambil keteladanan orang-orang shalih itu, maka hal ini sesuai dengan anjuran agama.

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. [Surah Yūsuf: 111]

Al Qur’an mengajarkan agar kita bisa mengambil pelajaran dan nasihat dari kisah para nabi dan rasul. Akal yang sehat dan pikiran yang lurus bisa memetik pelajaran yang mencakup dari segi hukum, hikmah, adab, dan aneka petunjuk kebaikan.

Baca juga: Manaqib Khidmat dan Jalankan Amaliah Syekh Mursyid

Dalam kitab Taju Adz Dzakir Fi Manaqib As Syekh Abdul Qadir yang merupakan terjemah Manaqib Syekh Abdul Qadir dalam bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa melaksanakan manaqiban yang diiringi rasa cinta serta mengharap berkah syafaat hukumnya sunnah. Sebagaimana termaktub dalam kitab Tabshiratul Fashilin ‘an Ushulil Washilin halaman 66.

Sunat, sebagaimana cinta pada akhlak para ulama, para shalihin, para mujtahidin yang terpuji, derajatnya yang luhur dan sifat- sifatnya yang baik, serta mengharap syafaat dan barakah dari padanya.