Tanbih Abah Sepuh, Warisan Akhlak Bagi Guru Sepanjang Zaman

Menjadi guru bukan hanya soal mengajar, tetapi soal membimbing dengan cinta, seperti pesan Abah Sepuh, “Tuntunlah dengan lemah lembut, agar murid mau menapaki jalan kebajikan…”

Karakter suatu bangsa sangat bergantung pada karakter pendidiknya. Ungkapan bijak bahwa “bangsa yang besar lahir dari guru-guru yang bermartabat” bukan sekadar slogan, melainkan cerminan sejarah.

Ketika Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak karena bom atom, Kaisar Hirohito tidak menanyakan soal senjata atau pejabat yang tersisa, melainkan, “Berapa guru yang masih hidup?” Sebuah pertanyaan mendalam tentang pentingnya pendidikan dan siapa yang layak dipercaya untuk membangunnya kembali, guru.

Baca juga: Guru, Pahlawan Tanpa Jubah dalam Perjuangan Kemerdekaan

Guru adalah profesi mulia. Tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk akhlak dan jiwa peserta didik. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru disebut sebagai pendidik profesional yang mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi. Dari semua tugas itu, mendidik—yakni menanamkan nilai dan karakter—adalah inti dari seluruh aktivitas seorang guru.

Dalam khazanah pendidikan Islam klasik, Al-Abrasyi menyebut 17 sifat yang ideal dimiliki oleh seorang guru, seperti zuhud, bersih lahir batin, ikhlas, rendah hati, dan pemaaf. Namun, selain rujukan dari literatur akademik, kita juga memiliki warisan spiritual bangsa, Tanbih Abah Sepuh—sebuah wasiat ruhani dari Syaikh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya dan Mursyid TQN (Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah).

Ditulis pada 13 Februari 1956, Tanbih adalah pedoman akhlak dan adab, bukan hanya untuk murid thariqah, tetapi juga bagi siapa pun yang ingin menjalani hidup dengan nilai-nilai ilahiah. Dalam konteks guru, salah satu nasihat beliau yang amat relevan berbunyi: