Pandemi Covid-19 dan Kepergian Ulama

Jumat hari ini sangatlah istimewa, sebab berada di antara sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Keutamaan hari jumat berhimpun dengan keutaman bulan Dzulhijjah dan hari-hari sepuluh pertama.

Dzulhijjah adalah salah satu ‘bulan haram’ yang disucikan dan diagungkan oleh Allah, lebih-lebih sepuluh hari pertama. Begitu hebatnya hari-hari ini, Allah bersumpah dengannya melalui firman-Nya, walfajri walayâlin `asyr (demi fajar dan malam-malam sepuluh).

Mayoritas ulama tafsir berkata, sepuluh malam dimaksud adalah hari-hari dan malam-malam sepuluh yang pertama di bulan Dzulhijjah.

Ulama hadis, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan, di antara penyebab keutamaan sepuluh hari bulan dzulhijjah itu adalah karena di situ terhimpun seluruh peribadatan yang wajib dan yang dianjurkan, seperti salat, puasa, sedekah dan haji. Baca juga…

Amalan tersebut amat dicintai oleh Allah melebihi bila dilakukan di luar hari-hari tersebut.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ

“Tidak ada yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal shaleh di hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah” (HR. Al-Tirmidzi).

Selain amalan-amalan yang fardhu dan yang sunnah, Rasulullah sangat berpesan agar kita selalu mengagungkan, mengesakan, menyucikan dan memuji Allah dengan memperbanyak takbir, tahlil, tasbih dan tahmid.

Kita perlu memanfaatkan suasana spiritual semacam ini. Lebih-lebih di saat masyarakat dunia masih dibayang-bayangi oleh pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari 1,5 tahun. Alih-alih menurun, pandemi virus corona di sejumlah negara di dunia menunjukkan peningkatan signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi belum berakhir. Kasus-kasus harian di banyak negara mengalami lonjakan.

Melansir Worldometers, Kamis (15/7/2021) pukul 07.00 WIB, virus corona telah menginfeksi 189.130.509 orang di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, 172.772.365 orang sembuh, dan 4.073.935 orang meninggal dunia akibat Covid-19.

Satu hal yang mengingatkan kita agar terus meningkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan dengan selalu menjaga protokol kesehatan.

Angka empat juta orang yang meninggal karena pandemi Covid-19 sampai saat ini memang belum seberapa bila dibanding dengan pandemi yang pernah terjadi di awal abad ke-20. Pada kurun waktu tahun 1918-1920, di tengah berkecamuknya perang dunia, flu Spanyol menyebarluas ke segala penjuru dunia. Penularannya juga sangat cepat dan mematikan seperti Covid-19.

Sebuah penelitian menjelaskan bahwa flu Spanyol memakan sekitar 20-100 juta korban jiwa di seluruh dunia. Melebihi korban tewas akibat perang dunia I. Penelitian terbaru dari Prof. Siddarth Chandra, seorang direktur di Michigan State University menjelaskan bahwa di daerah Jawa dan Madura kurang lebih ada 4,37 juta korban jiwa dari jumlah penduduk sekitar 60 juta orang. Sumber Wikipedia menyebutkan penyakit ini menginfeksi 500 juta orang, atau sekitar sepertiga populasi dunia saat itu.

Ini hanya sekadar angka-angka perbandingan. Paling tidak agar kita tetap selalu bersyukur kepada Allah Swt. Tetapi, persoalannya bukan pada angka-angka kematian atau yang terinfeksi. Ini adalah nyawa manusia yang sangat dimuliakan oleh Allah.

Sampai-sampai sekian banyak tuntunan agama diarahkan untuk menjaga keselamatan jiwa manusia (hifzh al-nafs). Segala yang mengancam keselamatan jiwa manusia ditutup rapat-rapat. Nabi berpesan, lâ dharara walâ dhirâr. Hindari melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri dan tindakan membahayakan orang lain.

Secara pribadi anda boleh tidak percaya Covid-19, dan silakan bila merasa tidak perlu vaksinasi sebagai ikhtiar melindungi diri. Tetapi, ketika berada di sebuah lingkungan, berinteraksi dengan orang lain; di jalan, di pasar, di masjid, di tempat kerja atau lainnya, kita berkewajiban untuk saling menjaga dan melindungi dengan ikhitar maksimal agar tidak saling menularkan. Maka, menaati protokol kesehatan menjadi kewajiban agama (farîdhah dîniyyah) sekaligus tuntutan kemanusiaan (dharûrah insâniyyah).

Kita perlu meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian karena banyak sahabat, kerabat dan orang-orang yang kita cintai menderita dan berpulang. Duka kita semakin mendalam ketika banyak ulama dan guru-tercinta ‘berpulang’. Satu demi satu, mereka yang selama ini membimbing kita, menjadi pelita di setiap kegelapan, telah tiada. Tentu, mereka sedang berbahagia di alam sana, karena akan segera merasakan buah manis dari perjuangan dan pengorbanannya di dunia. Bagi mereka itu adalah sebuah kenikmatan, tetapi bagi kita ini adalah sebuah kehilangan. Baca juga…

Kepergian ulama bukanlah hal yang biasa. Kepergian ulama bukan sekadar pergi jasadnya. Bukan sekadar hilang darah dan dagingnya. Tetapi, kepergian ulama adalah kepergian bagian terpenting dari warisan kenabian, yaitu ilmu, yang menjadi pertanda munculnya berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Lentera yang biasa menerangi redup, bahkan padam. Pohon besar tempat berteduh itu telah tiada. Ketika orang mengambil ilmu tidak dari sumbernya, ulama yang otoritatif, di situlah awal kehancuran.

إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رؤوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”

Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus dengan mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya maka mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR. Bukhari dan Muslim).

Sahabat Nabi ahli Al-Qur`an, Ibnu Abbas, ketika menafsirkan ayat:

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا نَأْتِى الْاَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ اَطْرَافِهَاۗ …. ٤١

Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Kami mendatangi daerah-daerah (orang yang ingkar kepada Allah), lalu Kami kurangi (daerah-daerah) itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? (Ar-Ra’d:41).

Dengan mengatakan, “kerusakan bumi terjadi karena kepergian para ulama dan fuqaha serta orang-orang baik”.

قال:  خراب الأرض بموت علمائها وفقهائها وأهل الخير منها

Ibarat hujan yang membasahi dan menyuburkan tanah, bumi Allah akan selalu hidup selama para ulama masih eksis. Ketika hujan tiada, tanah pun kembali rusak, tandus dan kering kerontang.

Namun, kita tidak perlu larut dalam kesedihan, karena begitulah kehidupan dunia yang selalu berputar. Timbul dan tenggelam, datang dan pergi adalah hal biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama tempat persemaian itu telah dipersiapkan.

Akhirnya, marilah manfaatkan kesempatan berada di hari-hari yang penuh keutamaan dan keberkahan, di tengah kehkawatiran dan keresahan, dengan mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui amal-amal ibadah yang sangat dianjurkan. Dalam situasi seperti ini kita perlu ‘berdamai’ (al-tashâluh) dengan Allah dan juga berdamai dengan diri sendiri. Bukankah hanya dengan selalu ingat kepada Allah dan berzikir hati ini akan tenang dan damai?

Oleh: Dr. Muchlis Hanafi, MA


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
______
Rekomendasi