Muruah, Inti dari Akhlak Yang Mulia

Kata “muruah” barangkali tidak terlalu populer di dalam bahasa Indonesia. Kata ini sesungguhnya sudah menjadi kata baku bahasa Indonesia.

Kata “muruah” ini pada mulanya bukanlah milik atau lahir dari bahasa Indonesia, tetapi berasal dari kata bahasa Arab.

Tidak ada yang tahu sejak kapan kata ini digunakan di dalam bahasa Indonesia. Tetapi yang jelas, kata ini digunakan setelah terjadi asimilasi budaya antara budaya Islam dan budaya Nusantara pada masa dahulu ketika Islam tersebar di Nusantara.

Sudah tentu, bahwa yang menggunakannya pada masa-masa awal itu adalah penganjur dan mubaligh Islam yang menyebarkan agama Islam ketika itu.

Kata “muruah” ini pada dasarnya berasal dari kata kerja mara’a – yamra’u – mar’an. Kata mara’a berarti “baik, bermanfaat, enak, lezat, baik tingkah lakunya, udaranya sehat, memiliki keberanian.”

Baca juga: Cara Mendapat Kemuliaan yang Hakiki

Makna di atas menunjukkan sesuatu yang baik, lezat, dan bermanfaat. Kata ‘muruah’ berarti ‘tingkah laku yang baik, yang bermanfaat, dan menyenangkan, dan menunjukkan keberanian.”

Muruah pada hakikatnya merupakan inti dari akhlak yang mulia karena muruah mencakup seluruh sikap yang baik yang ditunjukkan oleh seseorang, yang menghasilkan manfaat yang dirasakan tidak hanya oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh orang lain.

Muruah mengandung nilai kesopanan yang baik dan menunjukkan kesempurnaan manusia. Ia akan mendatangkan kehormatan dan rasa hormat orang lain terhadap seseorang yang memiliki sifat muruah.

Baca juga: Tiga Akhlak Utama Pengamal Tarekat

Syekh Masyhur ibn Hasan Ali Sulaiman dalam bukunya Al-Muru’ah wa Khawarimuha, hal. 41, mengatakan bahwa, “orang yang memiliki muruah akan dihormati walaupun ia bukan orang yang berada. Ia akan disegani laksana singa yang ditakuti, walaupun sedang diam. Orang yang tidak memiliki muruah ia akan dihina, walaupun ia adalah orang yang berada. Ia laksana anjing yang terhina, walaupun ia dikalungi dan dihiasi dengan emas.”

Al-Jurjani, dalam bukunya Al-Ta’rifat, hal. 111, mengatakan bahwa, “muruah adalah kekuatan jiwa dan sumber bagi perbuatan-perbuatan baik yang mendatangkan pujian menurut syara’, akal, dan adat kebiasaan.”

Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa muruah adalah berpegangnya jiwa manusia pada sifat-sifat kemanusiaan yang menjadikannya berbeda dengan hewan yang tidak berakal dan setan yang terkutuk. Di dalam diri manusia ada tiga pendorong yang saling tarik-menarik antara satu sama lain, yaitu:

1. Pendorong untuk berakhlak (berperilaku) dengan akhlak setan. Pendorong ini akan mengantarkan manusia untuk berakhlak dengan berbagai macam akhlak setan, seperti takabur, dengki, sombong, melampaui batas, sewenang-wenang, berbuat jahat, berbuat kerusakan, dan menipu.

2. Pendorong untuk berakhlak (berperilaku) dengan akhlak hewan. Pendorong ini akan mengantarkan manusia untuk memiliki akhlak (perilaku), seperti akhlak hewan, seperti mengikuti hawa nafsu, memangsa pihak lain yang tidak mampu, menguasai orang lain tanpa rasa kasih sayang, dan melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap yang lemah.

3. Pendorong untuk berakhlak (berperilaku) seperti akhlak malaikat. Pendorong ini akan mengantarkan manusia untuk memiliki sifat-sifat yang baik, memberi dan menerima nasihat, taat dan tekun, dan berilmu.

Baca juga: Guru Mursyid Ibarat Dokter yang Mengobati Penyakit Qalbu

Janganlah engkau menjadi manusia yang berakhlak hewan dan berakhlak setan. Jika engkau berakhlak seperti ini, maka engkau akan menjadi manusia yang sangat merugi. Tetapi jadilah kalian manusia yang berakhlak malaikat. Jika engkau berakhlak seperti ini, maka engkau akan menjadi manusia yang sangat beruntung.

Sumber tulisan: Laman Facebook Prof. Dr. Ahmad Thib Raya


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
______
Rekomendasi