Tidak mudah untuk dapat membaur dengan kanak-kanak. Apalagi mampu menyelami kehendak dan kebutuhan mereka. Lebih lanjut mampu mengarahkan kanak-kanak sesuai dengan kecenderungan yang dimilikinya.
Saat ada tamu pun, bila ada kanak-kanak yang berada di madrasah dan berjalan menuju Abah, Abah peduli kepada kanak-kanak, memperkenalkannya kepada tamu, menanyakan apa makanan yang diinginkan dari sang anak, lalu membujuk sang anak untuk melanjutkan permainan kembali.
Abah sering duduk di teras madrasah sambil mengamati kanak-kanak yang sedang bermain di sekitar halaman madrasah. Saat ada petugas pesantren ingin menegur anak-anak itu untuk pindah, Abah memberi isyarat untuk membiarkan anak-anak bermain di sekitar madrasah. Abah lalu ke dalam madrasah mengambil makanan yang tersedia dan membagikannya kepada anak-anak yang bermain. Tak jarang Abah berdialog dan bercanda dengan anak-anak itu.
Keakraban Abah dan kanak-kanak ini seringkali membuat orang tua dari kanak-kanak ini merasa risi, kanak-kanak itu sedemikian polosnya. Bahkan para orang tua ini khawatir bila anak-anak mereka melakukan tindakan atau mengucapkan kata dan kalimat yang “culangung” tidak sopan bahkan tidak pantas. Baca juga…
Menghadapi kanak-kanak yang polos dan penuh keriangan itu Abah tersenyum. Abah tiada tersinggung apalagi marah saat kanak-kanak itu melakukan tindakan yang dipandang sebagai “culangung”. Abah justru memanggil anak-anak itu dengan panggilan yang baik dengan penuh kelembutan “Bageur”, “Agus”, “Asep”, “Cep” sekaligus mengajarkan kepada kanak-kanak itu bagaimana bertutur kata.
Suatu kali Abah sedang berdialog dengan seorang anak umur 5 tahun.
“Ujang puasa tidak ?” tanya Abah kepada anak di madrasah yang memegang kue.
“Puasa ujang mah,” kata sang anak.
“Lho… itu ada kue di kedua tangan dan barusan makan kue”
“Ujang mah puasa makan nasi, Bah,” kata si anak sambil melanjutkan mengunyah kue di madrasah.
Seorang anak berusia 5 tahun yang dilahirkan dan dibesarkan di Pekalongan dibawa oleh Kang Dudun Saiduddin (almarhum) di tahun tujuh puluhan ke Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Jawa ini diasuh di madrasah sebelum kedua orang tuanya datang dari Pekalongan.
Suatu pagi ketika Abah sedang menerima tamu, anak ini menangis sambil berteriak “Ngombe….. Ngombe…… Ngombe….”
Pengasuh yang ada di sekitar madrasah yang tidak mengerti apa yang diinginkan anak, mengasongkan apa saja yang ada di situ, dari mulai permainan hingga makanan. Alih-alih diam, sang anak malah makin meronta-ronta sambil berteriak “Ngombe….Ngombe…”
Abah yang sedang melayani tamu berpamitan sejenak kepada tamu, lalu ke dapur bertanya kepada pengasuh.
“Apa yang diinginkan anak ini….?”
“Nggak tahu Bah, ia cuma teriak ‘Ngombe…Ngombe….’ saya asongkan apapun ditolaknya dan makin keras tangisannya”.
Abah merangkul anak itu menggendongnya dan berkata “Coba ambil secangkir air ke sini”. Baca juga…
Pengasuh mengambilkan secangkir air dan menghaturkannya kepada Abah. Abah memberikan cangkir ini kepada sang anak. Anak itu mengambil cangkir berisi air dan semangat meminumnya. Usai tenang Abah memberikan anak itu kepada pengasuh sambil berkata,
“Penting juga kita urang Sunda belajar bahasa lain seperti bahasa Jawa. Anak ini berkata ‘Ngombe’. Anak ini minta minum”.
Membangun harga diri anak telah dicontohkan Abah. Hadirnya tamu tak jarang bagi sebagian orang justru membuat anak merasa diabaikan dan mengalami “self discounting“. Hadirnya tamu dan hadirnya kanak-kanak bagi sebagian orang menjadi sebuah konflik kepentingan dan kanak-kanak justru terabaikan. Abah mampu menunjukkan cara bahwa keduanya perlu mendapatkan kehormatan yang sesuai. Pun Sapun Ampun Paralun.
Oleh: Asep Haerul Gani
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______