Sejarah Singkat Tradisi Tarhim di Pondok Pesantren Suryalaya

Tradisi tarhim di Pondok Pesantren Suryalaya hingga kini masih terpelihara dengan baik. Tarhim di Suryalaya telah ada sejak zaman Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad (Abah Sepuh).

Pelaku tarhim pertama diketahui adalah Ahmad Sobari. Hingga kini belum ada informasi akurat yang menyebutkan kapan pertama kali tarhim itu dimulai. Namun berdasarkan informasi yang diterima penulis, tarhim di Pondok Pesantren Suryalaya telah ada diperkirakan sekitar tahun 1950-an. Tidak banyak informasi yang didapat mengenai bagaimana pelaksanaan tarhim di masa Ahmad Sobari.

Ahmad Sobari melakukan tarhim di atas Menara Masjid Nurul Asror yang dibangun oleh Abah Sepuh pertama kalinya. Menara tersebut dibangun setinggi (kurang lebih) lima belas meter. Saat itu tarhim pun tidak dilakukan menggunakan pengeras suara, disebabkan Pondok Pesantren Suryalaya belum mendapat aliran listrik.

Adapun teks tarhim yang dibaca oleh Sobari ialah Shalawat bani Hasyim dan bacaan tarhim (Yaa arhamarrahimiin irhamna…).

Setelah Ahmad Sobari wafat pada tahun 1959 M., tarhim dilanjutkan oleh dua orang putranya yaitu Bakri dan Hanafi. Selain mereka berdua, terdapat pula beberapa orang yang mengumandangkan tarhim. Mereka mendapatkan tarhim tersebut dari Bakri dan Hanafi. Pada waktu itu, tarhim digaungkan di atas Menara Masjid Nurul Asror, kurang lebih 30 menit sebelum tiba waktu Subuh.

Selama berkhidmat kepada Abah Anom, kebersamaan Bakri dan Hanafi tidak berlangsung lama. Sepeninggal Ayahnya, Bakri dan Hanafi hanya dapat mengumandangkan tarhim secara bersama-sama selama tiga tahun (sekitar tahun 1959–1962 M). Karena Bakri sering menderita sakit, tarhim berjamaah pun selanjutnya hanya dipimpin dan dibimbing oleh Hanafi seorang. Baca juga…

Karena waktu itu masih belum ada aliran listrik, tarhim hanya dilakukan dengan menggunakan sebuah corong mirip dengan sebuah terompet atau sebuah megaphone yang saat itu dinamakan lawong.

Lawong terbuat dari kaleng besi atau semacam seng. Ukuran corong panjangnya 50 cm dengan diameter (bagian depan) kurang lebih 30 cm dan diameter (bagian belakang; untuk sumber suara) kurang lebih berukuran 8 cm.

Sejalan dengan perkembangan zaman, Pondok Pesantren Suryalaya mengalami kemajuan yang signifikan. Setelah berdiri dan diresmikannya menara Masjid Nurul Asror yang kedua pada tahun 1970, tarhim masih dilakukan oleh Hanafi. Namun tarhim oleh Hanafi itu tidak berlangsung tidak lama mengingat usianya yang sudah sepuh.

Waktu itu pun belum ada petugas tarhim (waktu dini hari) yang ditunjuk secara khusus oleh pesantren. Kondisi tersebut memberikan kesempatan kepada para santri yang belajar tarhim untuk langsung tampil mengumandangkan tarhim di dalam masjid dengan menggunakan pengeras suara.

Adapun petugas tarhim pada saat itu yakni antara tahun 1972-1980 dari kalangan santri senior yang sering tampil adalah Endus berasal dari Purwakarta, Dodo dari Suryalaya dan Abdul Karim dari Sumedang. Selain itu yang sering mengumandangkan tarhim dari kalangan asatidz adalah Toha Muslih. Namun Toha Muslih lebih sering tampil dalam waktu-waktu tertentu. Dan disusul dengan pelaku tarhim dari kalangan santri, diantaranya yaitu Suhrowardi (Sumedang) dan Busroh (Kalimantan).

Setelah berkhidmat kepada Pondok Pesantren Suryalaya sebagai pentarhim dan muadzin selama kurang lebih 19 tahun, akhirnya Hanafi menemui ajalnya, ia dipanggil oleh sang Khalik. Ia wafat di Kampung Godebag pada tahun 1978.

Pasca Hanafi wafat, diantara pengumandang tarhim dari kalangan santri pada kurun waktu antara tahun 1980-1990 adalah Mumu Munawarudin (Cikalong), Iyed Tarya S. (Pacet), Ahmad Sidik (Cikalong), dan beberapa orang lainnya. Tentu para santri tersebut tak lepas dari bimbingan para senior dari kalangan asatidz, seperti Toha Muslih dan Iim.

Seiring berjalannya waktu, mulai tahun 1990-an pelantun tarhim dilakukan dengan istiqamah oleh Toha Muslih. Dalam perjalanannya, tarhim yang dilakukan oleh Toha, bacaannya sedikit demi sedikit mengalami penambahan. Penambahan ini dilakukan atas dasar perintah Abah Anom. Toha mendapatkan perintah untuk supaya membacakan shalawat pada lima belas menit sebelum tarhim (yaa arhamarrahimiin …) dimulai. Dengan demikian, waktu yang dibutuhkan untuk tarhim pun lebih lama dari pada tarhim sebelumnya. Baca juga…

Jika di masa Abah Sepuh dan di masa awal Abah Anom cukup dengan waktu 30 menit. Di masa Abah Anom yang Toha Muslih sebagai pentarhimnya, membutuhkan waktu hingga 50-60 menit.

Amanah yang diemban oleh Toha Muslih sebagai pentarhim dan muadzin cukup lama. Sehingga karakter suara dan lagu dalam tarhim atau adzan yang dibawakan oleh Toha sangat akrab di telinga masyarakat, dan sangat khas berbeda dari yang lain.

Dengan demikian tidak ada yang mengelak jika tarhim atau adzan tersebut oleh banyak orang disebut produk Toha Muslih, karena cukup sulit ditemukan di tempat yang lain. Selain itu tidak sedikit para ikhwan menamainya dengan nama tarhim dan adzan Suryalaya.

Pada usia 78 tahun Toha dijemput oleh yang Maha Pencipta, tepatnya hari Selasa malam tanggal 18 Februari 2020 (25 Jumadil Akhir 1441 H.). Sepeninggalnya, tarhim dan adzan (khas Suryalaya) masih diperdengarkan di Menara Masjid Nurul Asror Pontren Suryalaya oleh para santri yang terus belajar mengikuti jejaknya.

Oleh: Kamaludin Koswara

#tarhim #abahsepuh #nurulasror


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
______
Rekomendasi