Membayangkan dan menulis pengalaman ini membuat air mata berderai. Bersyukur kepada Allah swt karena telah mempertemukan saya dengan guru mursyid yang kamil mukammil.
Pertama kali ditalqin oleh Pangersa Abah pada tahun 1994, saat masih remaja. Ketika itu sedang mengikuti program pesantren kilat di Pesantren Suryalaya selama dua minggu atas arahan ayahku.
Meskipun sudah ditalqin, saya belum mengamalkan dengan sungguh-sungguh. Anak SMA seusia saya masih terbuai dengan indahnya masa remaja dan gemerlapnya dunia.
Bersyukur ayah dan ibu tidak pernah bosan membimbing, mengingatkan dan mengajak saya untuk selalu mengamalkan dzikir. Alhamdulillah saat manaqib ke Suryalaya terkadang saya bisa ikut.
Sampai suatu hari, ayah saya berpulang ke rahmatullah. Banyak pelajaran yang saya dan keluarga dapatkan. Karamah Pangersa Abah kami rasakan. Meskipun meninggalnya ayah mengguncang diri, banyak pihak yang menguatkan. Alhamdulillah dua wakil talqin Pangersa Abah ikut mengantar kepergian ayah, KH. Wahfiudin Sakam dan Abah Nur Anom.
Hari-hari berlalu setelah kepergian ayah. Keluarga merasa kehilangan sosok seorang pelindung. Terjadi titik balik dalam hidup, muncul keinginan kuat untuk memperbaiki diri, mendekat kepada Allah dan lebih bersungguh-sungguh mengamalkan dzikir yang telah diajarkan Pangersa Abah
Dua tahun setelah kepergian ayah, ujian besar kembali hadir. Anak kedua, laki-laki dipanggil-Nya dalam usia 3 tahun. Padahal ketika itu kondisi anak dalam keadaan sehat wal afiat.
Sebagai ibu yang mengandung, melahirkan dan merawatnya tentu sangat terpukul, merasa kehilangan. Bumi serasa mau runtuh, kaki seperti tak berpijak. Allah mengambilnya begitu cepat, seperti burung elang menangkap anak ayam, sangat cepat.
“Ya Allah… apa dosa saya?! Diberikan ujian begitu berat. Apakah saya bukan ibu yang baik sehingga Engkau mengambilnya secepat ini?” ujar saya dalam hati merenungi kesedihan.
Dalam kondisi terpuruk dan lemah, saya teringat kejadian dua pekan sebelum kepergian putra tercinta. Setiap shalat, wajah Abah hadir di hadapan saya.
Diri ini menjadi resah, galau, rindu dan sedih semua campur menjadi satu. Sampai akhirnya saya telpon kakak tertua.
“Teh, kalau ke Suryalaya aku ikut yah… ini setiap aku shalat wajah Abah ada di depan mataku terus. Aku mau ketemu Abah!”.
Saya telpon kakak, malam sebelum anak saya meninggal dunia esok harinya. Saya yakin ada hikmah dari semua kejadian. Semua manusia akan kembali kepada-Nya, tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, kaya maupun miskin. Semua sudah ada takdirnya.
Allah selalu menguji keimanan seseorang dalam kondisi apapun. Pasrahkan dan ikhlaskan semuanya kepada Dia. Alhamdulillah berkat bimbingan Pangersa Guru KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (qs) saya tidak larut dalam kesedihan yang mendalam, dan menyalahkan diri sendiri.
40 hari setelah wafatnya Zikra, Allah memberikan amanahnya. 9 bulan kemudian lahirlah Muhammad Fachri Rachman (Rachman nama yang diberikan dari Pangersa Abah), alhamdulillah.
Semoga anakku Muhammad Zikra Ahaddin menjadi wildan-nya Allah, menjadi syafaat bagi kami orang tuanya di yaumil akhir, Aamiin ya rabbal ‘alamiin.
Banyak orang bilang, kehilangan anak mendadak bisa membuat stres dan gila. Ibu berkata, “Mama salut sama kamu yan… Kamu bisa kuat dan tegar menghadapi ujian ini…”
“Ada Allah mah…ada Abah…”, jawab saya lirih.
Bibarakati wa karamati Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (qs), al-fatihah.
(Penulis: Dian Nuraini Pujianti, Bendahara II, Ibu BELLA Jakarta)
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______