Ziarah dan Nilai Kerukunan

Ziarah wali ajarkan kerukunan dalam perbedaan, warisan luhur TQN Pontren Suryalaya

Tradisi ziarah ke makam para wali, termasuk Wali Songo, bukan sekadar perjalanan spiritual semata. Di balik langkah-langkah kaki menuju pusara para kekasih Allah, tersimpan pelajaran luhur tentang kehidupan, terutama mengenai pentingnya kerukunan dalam keberagaman.

Setiap hari, makam para wali dipenuhi oleh para peziarah dari berbagai penjuru negeri. Mereka datang dengan latar belakang budaya, suku, dan bahkan praktik keagamaan yang berbeda. Namun dalam perbedaan itu, hadir suasana yang menyatukan, mereka semua duduk dalam keheningan, berdzikir, berdoa, dan merenung sesuai ajaran yang mereka pelajari.

Yang indah, meski bacaan dan tata cara yang digunakan berbeda, tidak satu pun dari mereka saling menyalahkan atau mengoreksi. Semua fokus pada doa masing-masing, dengan penuh kekhusyukan dan rasa hormat terhadap yang lain. Di sinilah nilai kerukunan menjelma nyata—perbedaan bukanlah alasan untuk bertikai, melainkan kesempatan untuk saling menghargai.

Sikap ini sejatinya telah diajarkan oleh para guru mursyid dalam Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Pondok Pesantren Suryalaya. Abah Sepuh dalam Tanbih-nya menegaskan, “Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing-masing, mengingat Surat Al-Kafirun ayat 6: ‘Agamamu untuk kamu, agamaku untuk aku.’ Maksudnya, jangan terjadi perselisihan. Wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali-kali ikut campur.”

Pesan ini sangat relevan dengan realitas ziarah. Dalam tradisi ini, tidak ada ruang untuk fanatisme sempit. Sebaliknya, yang tumbuh adalah kesadaran akan pentingnya hidup berdampingan dalam damai.

Abah Sepuh pun mengingatkan kita melalui pepatah luhur, “Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai. Andaikan tidak demikian, pasti sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.”

Ziarah menjadi ajang kontemplasi, bukan hanya untuk mengenang kebaikan para wali, tetapi juga untuk memperbaiki diri. Di sana, kita belajar menjadi manusia yang bijaksana—yang tidak mudah menghakimi, tetapi lebih suka mendoakan; yang tidak suka memperkeruh suasana, tetapi senantiasa membawa keteduhan.

Dalam semangat TQN, ziarah bukan sekadar tradisi, melainkan juga pendidikan jiwa. Ia membentuk pribadi yang damai, menghargai sesama, dan memahami bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dijadikan kekayaan bersama. []


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______
Rekomendasi