Melalui video vlog perjalanan menuju Kota Pekalongan oleh Habibie Yukezain, KH. Wahfiudin Sakam mengaku mendapat undangan untuk menjadi narasumber di salah satu kampus Islam tepatnya Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Pekalongan.
Kiai Wahfi diminta untuk bicara bagaimana meningkatkan branding sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) baik negeri maupun swasta. Lalu mengapa Perguruan Tinggi Agama Islam perlu re-branding sekaligus meningkatkan kualitas dan kapasitasnya?
Pertama, kata wakil talqin Abah Anom ini, branding PTAI diperlukan dalam rangka memperkokoh kehadirannya di masyarakat sehingga bisa memberikan kontribusi yang lebih kuat bagi pembangunan peradaban Islam dan Indonesia.
“Kita tahu di Indonesia itu ada 58 Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan 830 Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS). Yang jika ditotal angkanya bagus sekali ada 888 buah PTAI se Indonesia,” ujar Wakil Ketua MUI Pusat Komisi Pendidikan dan Kaderisasi tersebut. Baca juga: Mengapa di Masa Awal Islam Tidak Ada Ilmu Tasawuf
Kalau saja setiap perguruan tinggi ini, menghasilkan 100 orang sarjana setiap tahunnya, berarti total ada 88.800 sarjana setiap tahun. Kalau lima tahun saja tanpa ada penambahan berarti ada 444.000 sarjana keagamaan.
Yang jadi masalah, sambung Kiai Wahfi, kalau keilmuan yang mereka kuasai itu hanya terbatas pada ilmu-ilmu yang sifatnya normatif. Yakni yang mengatur apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya tetapi lemah dalam aplikasi yang lebih bisa menuntun tentang bagaimana caranya.
“Ilmu yang normatif ini akan sulit diaplikasikan di masyarakat. 444.000 sarjana agama itu mau ke mana. Seluruh mereka hampir cita-citanya ingin menjadi pegawai negeri atau ASN di Kemenag. Tapi berapa banyak daya serap Kemenag. Apa bisa dalam lima tahun menampung 444.000 sarjana agama? Kalau tidak bisa ke mana?” ujar mantan Mudir Aam JATMAN tersebut.
Pengangguran Terselubung
Menurut Kiai asal Betawi ini, lulusan sarjana agama ini kalau tidak bisa mengaplikasikan ilmunya akan menghadapi kesulitan. Karena keilmuan mereka yang lebih bersifat normatif bukan aplikatif, sulit misalnya bagi mereka untuk masuk di dunia usaha atau bisnis.
Akhirnya tidak sedikit dari mereka terutama yang sudah jadi doktor kemudian bikin perguruan tinggi agama Islam. Setelah menjadi sarjana kemudian kuliah lagi, terus hingga menjadi doktor dan bikin lagi perguruan tinggi agama Islam. Baca juga: Tarekat Metode Jihad yang Disyariatkan Agama
Maka terjadi proses snow balling. Proses seperti bola salju yang bergulir semakin membesar. Kelihatannya sukses kita menghasilkan ilmuwan, tapi sebenarnya dalam praktek nyata, yang dalam ilmu ekonomi ketenagakerjaan ada yang disebut dengan pengangguran terselubung. Ini yang harus diselesaikan.
Selain itu, yang menjadi sorotan Dewan Pengawas Syariah LAZNAS DPF ialah juga dari faktor kemanfaatan bagi masyarakat. Sayang kalau kita punya akademisi bergelar tinggi tapi ilmunya tidak apply.
Maka kepada lulusan PTAI ini perlu diberikan keterampilan engineering. Pada dasarnya engineering adalah pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi dan pengalaman yang digunakan untuk menghasilkan desain-desain baru guna menjadi solusi bagi masalah masalah kehidupan.
“Desain itu bisa berupa objek benda seperti alat, mesin, infrastruktur. Desain juga bisa berbentuk organisasi, sistem dan regulasi termasuk SOP atau prosedur. Dan desain juga bisa berupa manusianya,” tambah Ketua Penasehat LDTQN DKI Jakarta itu.
Oleh sebab itu, kata kiai Wahfi desain-desain itu selain harus dimunculkan, untuk manusianya perlu disosialisasikan, serta dilakukan habituation (pembiasaan).
Karena menurut, Dewan Syariah Dompet Dhuafa ini, kalau ilmu ilmu normatif tidak di engineering-kan, dia tidak mewujud menjadi solusi yang nyata. Baca juga: Islamic Social Engineering Keahlian yang Diperlukan Umat
Contohnya norma keagamaan kita yang sudah populer sejak kita kecil di madrasah kita dulu. Di mana-mana ditulis di dinding an nadzafatu minal iman, kebersihan itu bagian dari iman.
Cara Mewujudkan Nilai Normatif?
Lalu bagaimana norma kebersihan itu bisa mewujud? Mesti di engineering-kan. Orang harus memikirkan objek apa yang harus didesain supaya kebersihan itu tegak.
“Berarti kan di lingkungan pesantren atau masjid atau di daerah orang yang banyak lalu lalang dan banyak orang berkumpul, di situ harus disediakan infrastrukturnya dong,” jelasnya.
Disediakan tempat sampah, bahkan dengan warna yang berbeda sesuai jenis sampahnya, misalnya sampah organik dan yang non organik. Mana sampah yang bisa di re use atau pun di recycle.
Selain harus didesain infrastruktur, sarana dan alatnya, perlu juga didesain organisasi, regulasi, prosedur serta manusianya dan program-program habituasinya.
“Kalau proses engineering ini dijalankan maka nilai yang normatif itu akan mewujud. Kebersihan bagian dari iman, tidak sebatas menjadi kaidah moral, tapi dia menjadi solusi bagi masalah sampah lingkungan dan kesehatan. Itu satu contoh,” tegas beliau.
Kiai Wahfi menilai, bahwa ilmu-ilmu yang normatif itu perlu di engineering-kan, disiapkan rekayasanya supaya hal yang normatif itu mewujud. Ini menurutnya penting, terutama untuk dunia keagamaan khususnya para ustadz, mubaligh, dai dan kiai. Baca juga: Kiai Wahfi Ikhwan Harus Terlibat Dalam Aktivitas Ekonomi dan Politik
Yang pertama harus diubah adalah mindset dan paradigmanya yang mesti diubah. Kemudian kita harus punya komitmen, tapi juga para pelaku ini harus juga memiliki otoritas, memiliki mandat. Sebab kalau sudah punya mandat, otomatis akan melibatkan penggunaan anggaran.
“Transformasi di kampus itu kan proses engineering apalagi re-branding yang menuntut perubahan yang kontinyu, sustain, berkelanjutan dan terus menerus. Tidak bisa sekadar singkat saja atau secara sporadis,” pungkas muballigh nasional tersebut.
#iainpekalongan #pengangguran #engineering
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______