Peran Sufi pada Kekaisaran Ottoman (bagian 2)

Doktor dari Universitas Marmara Turki ini menyebut kehadiran ulama-ulama tasawuf melalui gerakan tarekat menyatu bersama masyarakat.

Di tingkat akar rumput, ulama sufi menjadi aktor penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis dan saling mengormati. Sementara di kalangan atas dan para pemimpin mereka hadir dan menginspirasi dengan nilai-nilai Islam yang universal, seperti orientasi pada kemaslahatan bersama, toleran terhadap perbedan dan tindakan-tindakan penuh dengan kasih sayang.

Fakta ini menurutnya, bisa dilihat dari tingginya nilai toleransi yang dijaga dalam masyarakat Ottoman kepada kelompok-kelompok marjinal setelah menaklukan wilayah-wilayah baru.

Salah satu sufi terkemuka yang berperan aktif pada periode ini adalah Muhyiddin Ibnu Arabi, yang merupakan guru spiritual Ertüğrül Bey ayah dari Usman Bey (Ottoman).

Dalam masa perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Ibnu Arabi dari Cordova menuju ke Makkah, beliau tercatat dua kali singgah di Konya, ibu kota daulah Seljuk. Meskipun kehadiran Ibnu Arabi terbilang tidak terlalu lama, namun pengaruh ajarannya terhadap masyarakat Turki sangat kuat. Selain itu, sepeninggal beliau, peran dakwahnya dilanjutkan oleh Sadruddin Konawi, yang tidak lain adalah anak tiri dari Ibnu Arabi.

Baca juga: Peran Sufi Dalam Kekaisaran Ottoman (bagian 1)

Alumni UIN Walisongo itu menulis, bahwa metode dakwah yang dikembang oleh ulama sufi pada saat itu juga terbilang menarik dan unik.

Tokoh-tokoh tasawuf besar melakukan dakwahnya dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat. Sebut saja Jalaluddin Rumi. Melvlana, begitu jalaluddin Rumi biasa disebut oleh masyarakat Turki, berhasil membumikan nilai-nilai Islam melalui bait-bait syairnya yang terkumpul dalam kitab Mesnavi.

Melalui tangannya ajaran Islam menjadi begitu ringan, sederhana tetapi sangat menyentuh dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berlebihan kemudian banyak yang berkomentar jika karyanya Mesnavi menjadi rujukan penting masyarakat dalam beragama setelah al-Qur’an.

Selain Rumi, lanjut Munji, ada juga nama-nama seperti Şems-i Tebrizi, Ahi Evran dan Yunus Emre. Sejumlah nama darwis tersebut meninggalkan jejak mendalam dalam dunia emosi spiritual dan pemikiran bangsa Turki dengan caranya sendiri.

Peran para tokoh sufi berimplikasi pada ajaran tasawuf yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Turki yang tidak bisa dipisahkan. Nilai-nilai luhurnya terejawantahkan dalam praktek kehidupan sehari-hari seperti seni, musik, arsitektur dan sastra Ottoman.

“Refleksi perilaku spiritual masuk ke dalam bagian penting masyarakat seperti frasa, idiom, pribahasa, lagu pengantar tidur, lagu rakyat, humor dan lelucon,” ungkap Rais Syuriah PCINU Turki tersebut.

Baca juga: Jejak Sufi di Yerusalem

Ahmad Munji mencontohkan, di antara sufi yang nyentrik dan mashur dari masa ini adalah Naserudin Hoca. Seorang wali, sufi, pendakwah nilai-nilai Islam. Naserudin Hoca hadir melalui lelucon-lelucon yang akrab dengan realitas saat itu, cerita-cerita humor dihadirkan untuk mengingatkan kepada kebaikan, memperbaiki diri dalam berinteraksi dengan Tuhan, sesama manusia dan alam.

Tasawuf Menjamur

Perkembangan tasawuf memiliki tempat khusus dalam peradaban Islam di masa itu. Kajian-kajian tasawuf dapat ditemukan dimana-mana, tarekat berkembang bak jamur di musim hujan, karya-karya sufistik menjadi bacaan masyarakat umum mengalahkan karya dalam bidang fiqh dan ilmu kalam.

“Hasilnya, semua segmen dapat mengakses mistisisme dalam Islam itu, dari birokrat, intelektual, tentara, pedagang sampai dengan petani,” jelasnya.

Pria asal Pemalang itu menyatakan, keberadaan kelompok sufi dalam fase berdirnya Ottoman tidak hanya berfungsi sebagai gerakan keagamaan saja. Lebih dari itu, pembangunan struktur sosial dan budaya dalam memperkuat fondasi negara juga menjadi konsentrasi ulama sufi pada saat itu.

Baca juga: Syekh Abdul Qadir al Jailani Gemar Memberi Makan

Pada level kerajaan, ulama sufi juga memiliki posisi penting dalam pengambilan kebijakan-kebijakan politik oleh sultan. Sultan-sultan Ottoman memberikan posisi penting kepada tokoh agama. Dalam bidang hukum, mereka menunjuk ulama-ulama fikih sebagai qadi (hakim) dan ditempatkan di wilayah-wilayah kekuasaanya. Sementara dalam bidang kebijakan politik mereka memilih seorang ulama sufi sebagai penasehat.

Sebagai bentuk terima kasih dari pihak kerajaan, mereka mendukung penuh perkembangan tarekat dan gerakannya. Dukungan ini diberikan dengan bentuk pemberian wakaf tanah dan pembukaan daerah-daerah baru yang tidak jarang diberi nama sesuai dengan nama sufi yang tinggal di tempat itu.

Selanjutnya ulama-ulama ini mendirikan zawiyah, hanaqah dan tekke untuk memberikan pendidikan rohani kepada masyarakat di sekitarnya.


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______
Rekomendasi