6 Strategi Optimalisasi Wakaf Melalui Media Sosial

Bisa dikatakan wakaf belum menjadi top of mind ketika masyarakat hendak berdonasi. Yang akrab ketika hendak berdonasi atau memberi sumbangan ialah zakat infaq dan sedekah.

Wakaf masih dianggap ibadahnya orang kaya dan didonasikan dalam jumlah besar, tren wakaf masih didominasi oleh orang tua, manfaat wakaf masih diukur sebatas pada ibadah sosial yang berpahala dan bermanfaat untuk kaum dhuafa.

Sehingga bukan hal yang aneh, jika Nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) secara Nasional secara keseluruhan mendapatkan skor 50,48 dan masuk dalam kategori rendah.

Meski wakaf sudah terkenal, top of mind wakaf ialah makam, masjid dan madrasah. Dengan demikian masyarakat perlu mengenal dengan lebih baik menyangkut wakaf.

Masyarakat yang menjadi sasaran edukasi wakaf ini idealnya ialah mereka yang berusia produktif yakni mulai usia 15 hingga 64 tahun. Namun bukan hal yang keliru jika sejak dini praktek wakaf sudah mulai dibiasakan. Malah itu akan lebih baik.

Media sosial masih menjadi cara yang efektif untuk mengenalkan wakaf dengan pemahaman yang lebih baik. Sebab pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 160 juta orang.

Jika dilihat dari fungsinya, media sosial efektif digunakan untuk edukasi, sosialisasi, membangun interaksi, melakukan kolaborasi, konversi, hingga transparansi.

Selain itu media sosial juga kerap dijadikan branding tools, media informasi, media promosi, hingga sumber inspirasi.

Di lihat dari karakteristiknya melibatkan jaringan, hubungan, keterbukaan, partisipasi, dan perbincangan media sosial mampu menarik perhatian, melakukan analisis, bahkan jadi ajang aktualisasi diri hingga social selling and social commerce.

Lalu bagaimana cara mengoptimalisasi media sosial untuk edukasi wakaf?

Story Telling
Pada dasarnya story telling ialah cerita yang ditulis dengan jujur dan digunakan untuk menyentuh perasaan hingga mempengaruhi orang. Dan akan lebih menarik lagi jika dikemas dengan visual pendukungnya. (Foto: FreePik)
Visual Content
Berdasarkan penelitian manusia lebih mudah menyerap informasi dalam bentuk gambar. Konten berbentuk visual punya banyak keunggulan di antaranya; mudah dikenali dan diingat, meningkatkan follower, memicu emosi tertentu, serta meningkatkan interaksi. Mulai dari infografis, motion grafis, video dan animasi. (Foto: FreePik)
Intensive Interaction
Sebagai digital native, generasi milenial dan Gen-Z menyukai interaksi. Untuk mengkampanyekan wakaf, media sosial mesti jadi media yang memberikan pelayanan interaksi secara intensif sesuai kebutuhan audiens. (Foto: FreePik)
Audiens Needs and Behavior
Konten atau pun interaksi yang dibangun melalui media sosial perlu menyesuaikan kebutuhan sesuai sasaran. Yang juga dinilai penting untuk dijadikan pertimbangan ialah mengenali lebih jauh karakter, kebiasaan dan perilaku mereka. (Foto: FreePik)
Collaboration
Fungsi kolaborasi media sosial harus dihidupkan dan dirancang dengan strategis. Hal-hal teknis dan mendetail perlu juga mendapat perhatian. Kolaborasi bisa jadi pintu masuk dan penarik perhatian sekaligus promosi yang melibatkan banyak pihak dan jaringan. (Foto: FreePik)
Provides Options
Media sosial perlu menawarkan banyak pilihan sekaligus kemudahan kepada kaum urban, Gen Mil dan Gen Z. Misalnya cara menyalurkan wakafnya, pilihan wakaf, hingga penyaluran distribusi manfaatnya. Artinya dibutuhkan kesiapan infrastruktur wakaf hingga penyiapan SDM yang profesional dan mumpuni. (Foto: FreePik)

Usaha untuk optimalisasi wakaf melalui media sosial hanyalah salah satu cara. Semua stake holder juga mesti terlibat agar wakaf ini bisa jadi tonggak kesejahteraan umat.


Sekarang traktir Tim TQNNEWS gak perlu ribet, sat-set langsung sampe!
Terima kasih ya sudah support kami. Salam cinta penuh kehangatan :)
https://sociabuzz.com/tqnn/tribe
______
Rekomendasi